BUDIDAYA KELINCI MENGGUNAKAN PAKAN LIMBAH INDUSTRI PERTANIAN SEBAGAI
SALAH SATU ALTERNATIF PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN
C.M. Sri Lestari, E. Purbowati dan T. Santoso
Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang
ABSTRAK
Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penampilan produksi dan feed cost
per gain kelinci yang dibudidayakan menggunakan limbah industri pertanian.
Materi penelitian yang digunakan adalah 21 ekor kelinci Vlaamse Reus betina
yang berumur 4 bulan dengan rata-rata bobot badan awal 1.488,09 + 129,56 g (CV
= 8,71%). Kelinci-kelinci tersebut diberi tiga perlakuan pakan mengikuti pola
rancangan acak lengkap. Perlakuan pakan yang diterapkan yaitu T1 = rumput
lapangan + ampas tahu, T2 = rumput lapangan + ampas tahu dan bekatul, dan T3 =
rumput lapangan + bekatul dan konsentrat komersial. Pakan tersebut disusun
secara isoprotein.
Data konsumsi pakan, pertambahan bobot badan harian (PBBH) dan konversi
pakan yang diperoleh dianalisis ragam, sedangkan feed cost per gain dianalisis
secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa perlakuan yang diberikan
mempengaruhi konsumsi pakan (P<0,05), tetapi tidak mempengaruhi PBBH dan
konversi pakan. Rata-rata konsumsi pakan perlakuan T1, T2 dan T3 berturut-turut
165,05; 157,53 dan 151,85 g/ekor/hari. Pertambahan bobot badan harian yang
diperoleh adalah T1 = 31,93; T2 = 30,53 dan T3 = 33,95 g/ekor, sedangkan
konversi pakan masing-masing 5,17 ; 5,16 dan 4,47 untuk T1, T2 dan T3. Feed
cost per gain untuk masing-masing perlakuan sebesar Rp. 5.543,08/kg (T1), Rp.
6.911,63/kg (T2) dan Rp. 7.000,46/kg (T3).
Dari penelitian ini dapat disimpulkan, bahwa limbah industri pertanian
dapat digunakan sebagai pakan kelinci untuk menghasilkan produktivitas yang
setara dengan konsentrat komersial dan menurunkan biaya pakan sebesar 20,82%
sehingga cocok sebagai alternatif usaha dalam pemberdayaan petani miskin.
PENDAHULUAN
Sudah sejak lama (sekitar 20 tahun yang lalu), kelinci dipromosikan
sebagai salah satu ternak alternatif untuk pemenuhan gizi (khususnya protein
hewani) bagi ibu hamil dan menyusui, serta anak-anak yang kekurangan gizi . Hal
ini karena ternak kelinci dapat dijadikan alternatif sumber protein hewani yang
bermutu tinggi, dagingnya berwarna putih dan mudah dicerna. Kelebihan kelinci
sebagai penghasil daging adalah kualitas dagingnya baik, yaitu kadar proteinnya
tinggi (20,10%), kadar lemak, cholesterol dan energinya rendah (Diwyanto et
al., 1985), sedangkan menurut Ensminger et al. (1990), daging kelinci berwarna
putih, kandungan proteinnya tinggi (25 %), rendah lemak (4%), dan kadar
cholesterol daging juga rendah yaitu 1,39 g/kg (Rao et al. dalam Sartika ,
1995).
Menurut Farrel dan Raharjo (1984), kelinci menjadi ternak pilihan karena
pakannya tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, maupun ternak industri yang
intensif. Kelinci juga tumbuh dengan cepat, dan dapat mencapai bobot badan 2 kg
atau lebih pada umur 8 minggu, dengan efisiensi penggunaan pakan yang baik pada
ransum dengan jumlah hijauan yang tinggi..
Kombinasi antara modal kecil, jenis pakan yang mudah dan
perkembangbiakannya yang cepat, menjadikan budidaya kelinci masih sangat
relevan dan cocok sebagai alternatif usaha bagi petani miskin yang tidak
memiliki lahan luas dan tidak mampu memelihara ternak besar. Di negara sedang
berkembang, kelinci dapat diberi pakan hijauan yang dikombinasikan dengan
limbah pertanian dan limbah hasil industri pertanian (Sitorus et al., 1982 dan
Diwyanto et al., 1985). Limbah industri pertanian seperti ampas tahu dan
bekatul dapat digunakan sebagai pakan konsentrat untuk kelinci dan banyak
terdapat di lingkungan masyarakat Indonesia.
Ketersediaan pakan merupakan salah satu faktor penting dalam usaha
pemeliharaan ternak. Keberhasilan usaha pemeliharaan ternak banyak ditentukan
oleh pakan yang diberikan disamping faktor pemilihan bibit dan tata laksana
pemeliharaan yang baik. Agar kelinci dapat berproduksi tinggi, maka perlu
dipelihara secara intensif dengan pemberian pakan yang memenuhi syarat, baik
secara kualitas maupun kuantitas. Menurut Ensminger et al. (1990), pakan kelinci
dapat berupa hijauan, namun hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup,
sehingga produksinya tidak akan maksimum, oleh karena itu dibutuhkan pakan
konsentrat.
Kendala penggunaan konsentrat pabrik adalah harganya yang mahal sehingga
memberatkan petani peternak, karena biaya pakan sekitar 70% dari total biaya
produksi. Seiring dengan peningkatan kebutuhan pangan untuk manusia, maka
limbah industri hasil pertanian pun semakin banyak dan dapat menjadi alternatif
penyediaan bahan pakan ternak yang potensial termasuk kelinci.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produktivitas kelinci dengan
pakan rumput lapangan dan berbagai konsentrat yang berasal dari limbah industri
pertanian (ampas tahu dan bekatul) yang dibandingkan dengan penggunaan konsentrat
pabrik.
Selain itu, juga untuk mengetahui feed cost per gain kelinci dengan pakan
tersebut sehingga dapat direkomendasikan alternatif usaha budidaya kelinci
dengan pakan limbah industri pertanian bagi petani miskin.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Tampir Kulon, Kecamatan Candimulyo,
Kabupaten Magelang selama 16 minggu. Sebanyak 21 kelinci Vlaamse Reus betina
umur 4 bulan dengan bobot badan awal 1.488,09+129,56 g (CV = 8,71%), digunakan
dalam penelitian pola Rancangan Acak Lengkap dengan 3 perlakuan ransum, yaitu
T1 = rumput lapangan + ampas tahu, T2 = rumput lapangan + ampas tahu dan
bekatul, dan T3 = rumput lapangan + bekatul dan konsentrat komersial. Bahan
pakan tersebut disusun secara isoprotein sesuai dengan kebutuhan ternak kelinci
menurut Cheeke et al.(1982). Kandungan nutrisi bahan pakan penelitian terdapat
pada Tabel 1, sedangkan komposisi dan kandungan nutrisi pakan penelitian dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1.
Kandungan Nutrisi Bahan Pakan Penelitian
Bahan Pakan BK Kandungan Nutrisi dalam 100% BK
Abu PK LK SK BETN
Bahan Pakan BK Kandungan Nutrisi dalam 100% BK
Abu PK LK SK BETN
------------------------------------- (%) ---------------------------
Rumput lapangan 31,26 10,68 13,11 5,40 30,23 40,58
Konsentrat 78,93 6,86 25,94 8,26 4,71 54,23
Ampas tahu 10,14 4,53 22,23 2,55 29,77 40,92
Bekatul 83,05 46,23 9,67 6,78 26,88 40,44
Keterangan: BK = bahan kering, PK = protein kasar, LK = lemak kasar, SK =
serat kasar dan BETN = bahan ekstrak tanpa nitrogen.
Tabel 2.
Komposisi dan Kandungan Nutrisi Pakan Penelitian
Komposisi dan Kandungan Nutrisi Pakan Perlakuan
T1 T2 T3
Komposisi dan Kandungan Nutrisi Pakan Perlakuan
T1 T2 T3
------------------------- (%) ---------------------
Komposisi Pakan
-
Rumput lapangan 68,30 60,00 60,00
-
Ampas tahu 31,70 33,95 0
-
Bekatul 0 6,05 13,81
-
Konsentrat komersial 0 0 26,20
-
Kandungan Nutrisi
-
Bahan Kering 24,56 27,21 50,88
-
Protein Kasar 16,00 16,00 16,00
Kandang yang digunakan untuk penelitian adalah kandang bertingkat sistem
bateray yang terbuat dari bilah-bilah bambu dan sekat kandang dari kawat
“strimen”. Ukuran petak kandang adalah panjang 70 cm, lebar 60 cm dan tinggi 60
cm. Kandang tersebut ditempatkan dengan ketinggian 80 cm dari tanah.
Masing-masing petak kandang dilengkapi dengan tempat pakan rumput berbentuk V
dari bilah-bilah bambu, tempat konsentrat dan air minum berbentuk mangkok dari
tanah liat serta tempat garam dari bambu dengan ukuran panjang 20 cm dan
diameter 3 cm. Di bawah petak kandang dipasang plastik untuk menampung sisa
pakan yang tercecer.
Penelitian dibagi dalam 4 (empat) tahap, yaitu tahap persiapan (2
minggu), adaptasi (2 minggu), pendahuluan (2 minggu) dan pengambilan data (10
minggu). Kegiatan yang dilakukan pada tahap persiapan adalah persiapan kandang,
alat-alat penelitian, bahan pakan penelitian, dan pemberian obat cacing, obat
coccidiosis, obat anti stres dan desinfektan pada kelinci. Pada tahap adaptasi,
ternak diberi pakan yang akan dicobakan secara bertahap untuk membiasakan
kelinci mengkonsumsi bahan pakan tersebut. Tahap pendahuluan dimulai dengan
pengacakan kelinci terhadap penempatan dalam kandang dan perlakuan pakan penelitian.
Pada akhir tahap pendahuluan dilakukan penimbangan bobot badan untuk mengetahui
bobot badan awal kelinci penelitian. Kegiatan yang dilakukan pada tahap
pengamatan adalah pemberian pakan sesuai dengan kebutuhan ternak, penimbangan
sisa pakan setiap hari dan penimbangan kelinci setiap 15 hari sekali untuk
menyesuaikan kebutuhan pakannya. Pakan diberikan 3 kali sehari, yakni pukul
08.00 WIB sepertiga bagian konsentrat, pukul 11.00 WIB sepertiga bagian rumput
lapangan, dan pukul 16.30 duapertiga bagian konsentrat dan rumput lapangan.
Pemberian garam dan air minum secara ad libitum.
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah konsumsi pakan (BK dan
PK), pertambahan bobot badan harian (PBBH), konversi pakan dan feed cost per
gain (FC/G). Konsumsi BK dihitung dengan menyelisihkan jumlah pakan yang
diberikan dengan jumlah pakan yang tersisa dikalikan kadar BK pakan tersebut. Konsumsi PK
diketahui dengan mengalikan kadar
PK pakan tersebut dengan konsumsi BK-nya.
Pertambahan bobot badan harian dihitung dengan menyelisihkan bobot badan akhir
dengan bobot badan awal dibagi lama waktu pengamatan. Konversi pakan dihitung
berdasarkan jumlah BK yang dikonsumsi dibagi pertambahan bobot badan selama
waktu pengamatan. Feed cost per gain dihitung dengan cara membagi jumlah biaya
pakan yang dikonsumsi setiap hari dengan PBBH-nya.
Data hasil penelitian dianalisis dengan sidik ragam, kecuali FC/G dengan
analisis diskriptif. Perbedaan yang terjadi diuji dengan uji wilayah ganda Duncan (Steel dan Torrie,
1991).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data konsumsi pakan, PBBH dan konversi pakan disajikan pada Tabel 3.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa perlakuan yang diberikan mempengaruhi
konsumsi pakan (P<0,05), tetapi tidak mempengaruhi PBBH dan konversi pakan.
Tabel 3. Konsumsi Pakan, PBBH dan Konversi Pakan Kelinci Penelitian Parameter
T1 T2 T3 Konsumsi (g/ekor/hari) - BK hijauan 56,86 59,79 111,91 - BK konsentrat
108,19 97,74 34,94 - BK total 165,05a 157,53b 151,85b - PK total 18,92a 14,72b
14,18b PBBH (g) 31,93a 30,53a 33,95a Konversi Pakan 5,17a 5,16a 4,47a
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
(P<0,05
Konsumsi Pakan Hasil penelitian menunjukkan, bahwa konsumsi BK total
kelinci yang mendapat pakan rumput lapangan dan ampas tahu (T1) lebih tinggi
(P<0,05) dibandingkan dengan kelinci yang mendapat rumput lapangan, ampas
tahu dan bekatul (T2) atau kelinci yang mendapat rumput lapangan, bekatul dan
konsentrat (T3). Hal ini menunjukkan, bahwa ransum T1 lebih palatabel daripada
ransum T2 dan T3. Selain itu, ransum T1 mengandung ampas tahu basah sehingga
lebih mudah dikonsumsi oleh kelinci dan dapat meningkatkan konsumsi BK total.
Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3, bahwa konsumsi konsentrat pada T1 (ampas
tahu) lebih tinggi daripada T2 (ampas tahu dan bekatul) dan T3 (bekatul dan
konsentrat komersial).
Konsentrat komersial dengan bekatul bahkan tidak palatabel, yang
ditunjukkan dengan konsumsi konsentrat yang paling rendah, dibandingkan dengan
perlakuan lainnya. Menurut Aritonang dan Silalahi (1992), palatabilitas pakan
pada ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor internal (kebiasaan,
umur dan selera). maupun faktor eksternal (sifat pakan yang diberikan dan
kondisi lingkungan). Lebih lanjut dijelaskan bahwa palatabilitas berkaitan
dengan bau, rasa, dan tekstur yang dapat mempengaruhi selera makan. Cassady et
al. (1971) menjelaskan bahwa kelinci mempunyai kemampuan yang tinggi untuk
membau dan merasakan pakan yang tersedia serta sangat selektif terhadap pakan
yang disukai. Menurut Parakkasi (1999), faktor yang dapat mempengaruh konsumsi
pakan pada ternak adalah tingkat palatabilitas ternak terhadap pakan yang
diberikan dan sifat fisik bahan pakan tersebut.
Konsumsi PK
total kelinci dengan ransum T1 lebih tinggi (P<0,05) daripada ransum T2 dan
T3. Konsumsi PK
total kelinci ini seiring dengan konsumsi BK totalnya. Semakin tinggi konsumsi
BK total, maka semakin tinggi pula konsumsi PK totalnya. Pertambahan Bobot
Badan Harian Pertambahan bobot badan harian kelinci tidak dipengaruhi oleh
perlakuan pakan. Menurut Tillman et al. (1998), faktor pakan sangat menentukan
pertumbuhan, bila kualitasnya baik dan diberikan dalam jumlah yang cukup, maka
pertumbuhannya akan menjadi cepat, demikian pula sebaliknya. Pada penelitian
ini, konsumsi BK dan PK total yang lebih tinggi pada T1 belum dapat memberikan
PBBH yang lebih tinggi pula. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kandungan SK
ransum dengan konsentrat berupa ampas tahu pada T1 lebih tinggi (29,77%),
dibandingkan dengan konsentrat berupa bekatul (26,88%) atau konsentrat pabrik
(4,71%), sehingga konsentrat yang dikonsumsi tidak dapat dimanfaatkan secara
maksimal untuk meningkatkan PBBHnya, tetapi banyak yang terbuang melalui feces.
Sanford dan
Woodgate (1981) menjelaskan bahwa apabila proporsi SK dalam ransum naik, maka
daya cerna zat gizi pakan secara total turun.
Dikemukakan oleh Cheeke (1987) bahwa kelinci memerlukan serat di dalam
pakannya, bukan karena nilai gizinya, tetapi untuk mencegah enteritis.
Rata-rata PBBH kelinci pada penelitian ini adalah 32,14 g. Konversi Pakan
Konversi pakan hasil penelitian ini juga tidak dipengaruhi oleh perlakuan
pakan. Hal ini berarti banyaknya pakan yang digunakan untuk meningkatkan per
satuan PBBH kelinci relatif sama. Menurut Campbell dan Lasley (1985), konversi
pakan dipengaruhi oleh kemampuan ternak dalam mencerna bahan pakan, kecukupan
zat pakan untuk kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan dan fungsi tubuh lain serta
jenis pakan yang dikonsumsi. Meskipun konsumsi pakan pada penelitian ini
dipengaruhi oleh perlakuan pakan (P<0,05), tetapi PBBH dan konversi pakannya
tidak berbeda nyata (P>0,05). Hal ini kemungkinan karena kecernaan pakan
yang dikonsumsi rendah sehingga ternak tidak mendapatkan cukup zat-zat pakan
yang diperlukan untuk berproduksi yang lebih tinggi.
Pada Tabel 3 secara deskriptif terlihat ada kecenderungan pakan yang
mengandung konsentrat pabrik mempunyai konversi pakan yang lebih baik
dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Hal ini kemungkinan karena kadar SK
ransum yang mengandung konsentrat pabrik lebih rendah sehingga ransum yang
dikonsumsi lebih mudah dicerna dan lebih banyak zat pakan yang tersedia bagi
ternak untuk berproduksi.
Feed Cost per Gain
Feed Cost per Gain adalah biaya pakan yang digunakan untuk meningkatkan 1
kg pertambahan bobot badan. Pada saat ini harga rumput lapangan adalah Rp
150,-/kg, ampas tahu Rp 300,-/kg, bekatul Rp 700,-/kg dan konsentrat Rp
3.500,-/kg. Hasil perhitungan FC/G hasil penelitian ini adalah Rp. 5.543,08/kg
(T1), Rp. 6.911,63/kg (T2) dan Rp. 7.000,46/kg (T3). Pada perlakuan T1 ternyata
menghasilkan FC/G yang paling baik. Hal ini karena pada perlakuan tersebut
dapat menghasilkan FC/G yang terendah, artinya biaya pakan yang digunakan untuk
meningkatkan 1 kg bobot badan ternak paling murah.
Apabila diasumsikan biaya pakan sebesar 70% dari total biaya produksi,
maka biaya total yang dibutuhkan pada perlakuan T1 adalah Rp. 7.918,69/kg bobot
badan. Harga kelinci Vlaamse Reus di pasaran saat ini adalah Rp. 20.000,-/kg
bobot badan, sehingga pemeliharaan kelinci dengan pakan rumput lapangan dan
ampas tahu dapat memberikan keuntungan sebesar Rp. 12.081,31/kg. Jika harga
kelinci setelah digemukkan lebih tinggi daripada sebelum digemukkan karena
kualitas dan kuantitas dagingnya berbeda, maka keuntungan yang akan diperoleh
peternak akan lebih tinggi pula.
Pada tingkat petani peternak, rumput lapangan bisa didapatkan dengan
mudah tanpa membeli sehingga hal ini dapat mengurangi biaya pakan. Hasil
perhitungan FC/G pada kondisi seperti ini untuk perlakuan T1 menjadi Rp
4.848,79/kg. Akibatnya biaya total menjadi Rp. 6.926,84/kg, sehingga keuntungan
per kg bobot hidup menjadi Rp. 13.073,16. Jadi keuntungan yang diperoleh dari
pemeliharaan kelinci dengan ransum yang terdiri dari rumput lapangan dan ampas
tahu di tingkat petani peternak lebih tinggi. Apabila rumput lapangan diberi
harga Rp. 50,-/kg sebagai biaya tenaga kerja petani dalam mengambil, maka FC/G
menjadi Rp. 4.961,75/kg, biaya total Rp. 7.088,21/kg dan keuntungan yang
diperoleh menjadi Rp. 12.911,79/kg bobot badan.
KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah limbah industri pertanian dapat
digunakan sebagai pakan konsentrat bagi kelinci untuk menghasilkan
produktivitas yang setara dengan penggunaan konsentrat pabrik. Penggunaan
konsentrat dari limbah industri pertanian untuk ternak kelinci dapat menurunkan
biaya pakan sebesar 20,82% dibandingkan dengan penggunaan konsentrat pabrik,
sehingga cocok sebagai alternatif usaha dalam pemberdayaan petani miskin.
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, D dan M. Silalahi. 1992. Ketercernaan nutrisi jagung, onggok,
gaplek, ampas sagu, ampas bir, dan ampas tahu untuk babi. Majalah Ilmu dan
Peternakan 5 (2):18
Cassady, R.B., P.B. Sawin, dan J.V. Dam. 1971. Commercial Rabbit Raising.
United States Department of Agriculture, Washington
D.C.
Campbell,
J.R. dan J.F. Lasley. 1985. The Science of Animal that Serve Humanity. 2nd Ed.,
Tata McGraw-Hill Publishing Co. Ltd., New
Delhi.
Cheeke, P.R., N.M. Patton dan G.S Templeton. 1982. Rabbit Production. 5th
Ed. The interstate Printers & Publisher, Inc., Danville.
Diwyanto, K., R. Sunarlin, dan P. Sitorus. 1985. Pengaruh persilangan
terhadap karkas dan preferensi daging kelinci panggang. Jurnal Ilmu dan
Peternakan 1 (10):427-430.
Ensminger, M.E., J.E. Oldfield dan W.Heinemann. 1990.
Feeds and Nutrition. 2nd Ed. The Ensminger Publishing Co., Clovis
Farrel, D.J. dan Y.C.Raharjo. 1984. Potensi ternak Kelinci sebagai
Penghasil Daging. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Parakkasi, A., 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas
Indonesia Press, Jakarta.
Sartika, T. 1995. Komoditi kelinci peluang agribisnis peternakan.
Semianar Nasional Agribisnis Peternakan dan Perikanan pada Pelita VI. Media
Edisi Khusus :397-398.
Sitorus, P., S. Soediman, Y.C. Raharjo, I.G. Putu Santoso, B. Sudaryanto
dan A. Nurhadi. 1982. Laporan Budidaya Peternakan Kelinci di Jawa Barat.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie, 1991. Principles and Procedures of
Statistics. A Biometrical Approach. 2nd Ed., McGraw-Hill International Book
Company, Tokyo.
Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S.
Prawirokusumo, dan S. Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak
Dasar. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.